Food & Drink

Gelitik aroma Kopyopi

Belum lagi mencicipi cita rasa dari minuman kopi, diawali aromanya  yang menebar, sudah menggugah selera. Apalagi ketika hirupan kopi melewati lidah, dipastikan lidah bergoyang.

Tinggal lagi, kopi mana kah itu ?

Kali ini, menikmati kopi ternyata bukan hanya sekedar menikmati kopi. Tapi berbicara tentang idealisme dan kepuasan. Hanya saja, walau pun konsumsi kopi Nasional meningkat, tetapi masih banyak penikmat kopi yang belum mendapatkan cita rasa sesungguhnya dari kopi asli Indonesia.

Sekali pun tercatat, konsumsi kopi Nasional mencapai 249.800 ton pada tahun 2016, meningkat mencapai 314.400 ton pada tahun 2018 dan diprediksi  peningkatan 15-20 persen, pada tahun 2021. Diperkirakan mencapai 370.000 ton.

Adalah Yopi Syahrizal, pemilik Kopyopi,  menyebutkan kopi yang dikonsumsi masyarakat saat ini mayoritas kopi pabrik yang sudah mengalami pencampuran bahan.

Lantas, ia pun  menceritakan awalnya mendapatkan kopi murni, yaitu  saat ia melakukan coffee hunter di daerah Mentawai, Sumatera Barat. Yopi Syahrizal lanjut berkisah,”Saya mulai minum kopi sejak SD. Dari sana saya  banyak mencicipi berbagai kopi. Salah satunya, yang menurut saya enak adalah kopi oplet, yang kemudian  mulai berubah rasa. Tidak murni lagi.Jadi  saat ketika saya mencoba kopi hutan yang di Mentawai itu, baru saya benar-benar merasakan menemukan kopi murni,” urainya.

Setelah merasa cocok dengan kopi tersebut, Yopi mencoba untuk mengemas kopi dalam kemasan kecil dan melemparnya ke pasar sebagai bentuk testing product.

“Salah satunya di daerah Padasuka Bandung. Dan mendapat tanggapan positif. Karena memang rasanya enak dan bagi penikmat kopi sejati, ya kopi itu adalah kopi  tanpa campuraucap alumnus HI Universitas Pasundan Bandung. 

Ia mengakui, Kopyopi yang dijualnya bila dilihat selintas  lebih mahal jika dibandingkan kopi sachet atau kopi merek lainnya.

Yopi, panggilan akrabnya,  mulai menjual Kopyopidi akhir 2019, yang ditujukan bagi penikmat kopi murni, penjualan sudah melebar hingga  Hong Kong.

“Pembelinya adalah pemiliki gerai kopi. Bahkan di antaranya minta izin untuk menggunakan nama kopiyopi sebagai nama gerai mereka. Pembelian mereka memang reguler sebulan sekali, dan bisa penjualan bisa mencapai 120 kg per bulan. Tapi karena COVID 19 ini, penjualan cukup menurun drastis, rata-rata saat 20 kg per bulan,” paparnya.

Terkait kesediaan suplai, Yopi mengaku tidak merasa khawatir. Apalagi takut tersaingi. Tak lepas dari, jumlah pohon kopi di hutan yang banyak sekali. Apalagi saat musim hujan, buah kopi yang matang dan jatuh ke tanah akan tumbuh menjadi pohon kopi baru. Dan pohon kopi yang lama kan juga tidak rusak, paparnya lebih lanjut.

Untuk pengemasan, Yopi menyebutkan dirinya hanya mencantumkan komposisi. Nanti kemurnian kopi akan dites langsung oleh pembeli.

“Saya hanya berperan sebagai penyuplai kopi. Untuk display kemasan itu bergantung dari pembeli. Seperti, pembeli dari Hong Kong, mereka yang melakukan tes di laboratorium dan mereka memberikan hasilnya untuk dicantumkan di kemasan.,” ujarnya.

Potensi perkembangan kopi murni di Indonesia sendiri, diakui Yopi agak berat. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia belum memiliki idealisme dalam cita rasa. Tapi bukan berarti masyarakat Indonesia juga tidak bisa bertransformasi menjadi market  yang mengutamakan cita rasa dan kepuasan.

“Untuk lebih meningkatkan pengetahuan tentang kopi ini, saya sering melakukan tur edukasi tentang kopi. Menjelaskan apa perbedaan kopi dan apa sih manfaatnya kopi murni,” ucap Yopi.

[]Artikel & Photo : Natasha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *