Fashion & Grooming

5 Catatan : Pesona Fashion Di Masa Pandemi

Industri fesyen yang terus berkembang, kiranya memberi dampak serius terhadap lingkungan.  Melihat data Sustain Your Style 2020 disebutkan  bahwa emisi gas karbon yang dihasilkan dari industri fesyen empat kali lipat lebih banyak dibandingkan produksi pakaian 10 tahun lalu. Tercatat, industri fesyen yang menghasilkan limbah dalam jumlah besar, mencemari air, dan juga jutaan pohon ditebang di setiap tahunnya. Fesyen menjadi penyumbang emisi karbon terbesar setelah Industri migas.

Beranjak dari sana,  dan dalam rangkaian Pekan Diplomasi Iklim Uni Eropa, yang difasilitasi oleh EMPU,  diselenggarakan diskusi webinar, sebagai upaya fesyen berkelanjutan bertajuk  Fesyen Berkelanjutan di Masa Pandemi, di penghujung bulan Oktober 2020, lalu,

Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenasdalam paparannya menyebutkan fesyen menghadapi tantangan lingkungan, sementara industri ini terkait erat dengan ekonomi dan pendapatan masyarakat. “Maka bila tak ditangani dengan bijak akan menimbulkan kerentanan ekonomi khususnya bagi kaum wanita yang menjadi tenaga kerja terbesar. Jadi dibutuhkan kreativitas dan keberanian dari pelaku bisnis untuk mengubah paradigma dan pendekatan agar dampak terhadap lingkungan bisa dikurangi,” ungkapnya.

Terkait dengan fesyen di masa COVID-19 ini, Tenik Hartono, Pemerhati Fesyen dan Penulis Budaya menyebutkan masa pandemi bisa menjadi momentum untuk memulai fesyen berkelanjutan.”Saat ini pemenuhan kebutuhan pakaian untuk masyarakat lebih ke fungsional daripada membeli sebuah koleksi, sehingga sustainable fashion menjadi valid,” katanya.

Tercatat, ada banyak bahan ramah lingkungan yang bisa dimanfaatkan untuk fesyen, seperti diungkap Valentina Estiningsih pemerhati fesyen dan Redaktur Suara Merdeka Semarang. Salah satunya serat kepompong ulat sutera dari tanaman singkong (Samia Cynthia Ricini).  “Budidaya ulat sutera ini telah diterapkan di Semarang. Pengembangbiakannya juga mudah, yang  akhirnya bisa menjadi penghasilan tambahan untuk masyarakat pedesaan.Hal ini sangat membantu pengusaha kecil, mikro, menengah atau pun pengusaha-pengusaha Industri rumahan,” katanya.

Upaya memanfaatkan limbah atau material sisa yang diolah menjadi produk fesyen telah berhasil dilakukan oleh para penenun di Pringga Selatan, Lombok Timur dan Sukarrara, Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Benang sisa-sisa tenunan yang disambung menjadi sehelai yang kemudian dibuat menjadi Rerempek (campur-campur).

Zicko Haiziah Gazali dari Nine Penenun/Gema Alam yang melakukan pendampingan terhadap para penenun menyebutkan, “Awalnya Rerempeq ini dianggap tidak memiliki nilai ekonomis, namun setelah membuka pasar lebih luas melalui jejaring salah satunya EMPU dan menyertakan story telling, Rerempeq kini memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi,” katanya.

Chandrakirana Priyosusilo dari Sekar Kawung mengungkapkan belajar dari pengalaman masa lalu, Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk fesyen berkelanjutan di antaranya yakni memanfaatkan landscape yang ada menghasilkan pangan dan sandang.

Salah satu upaya untuk itu yakni kembali memanfaatkan serat alam diantaranya serat dari pohon Randu Alas, Widuri dan juga Gewang. Tak hanya serat alam, Indonesia juga memiliki serat dari fauna yang berhabitat asli di hutan hujan tropis.

Untuk merenggut hasil yang prima, memanglah  diperlukan harmonisasi dari berbagai pihak yakni Pemerintah mau pun stakeholder terkait untuk bisa mewujudkannya.

[]Titis Mawar Rani

Bahan Tulisan & Photo : Dok. IDDCom

Keterangaan Photo Utama (atas  ki-ka) :

Zicko Haiziah Gazali – Valentina Estiningsih – Tenik Hartono (bawah ki-ka) :

Woro Srihastuti Sulistyaningrum – Chandrakirana Priyosusilo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *